Reading a Poem

Reading a Poem
Alone

Tuesday, July 03, 2012

Cinta is Following Otak

Sore hari, ilalang dan rerumputan bergoyang seirama dengan alunan angin yang mengayun, di sebuah bukit yang jauh dari hingar bingar metropolitan. Fara alam semesta masih memanjakan mata dengan birunya yang mempesona.
Di depan sebuah mobil matic berwarna putih yang diparkirkan di sisi bukit, seorang wanita berhijab cokelat duduk. Ia tampak manis walau bermata empat. Setengah meter di hadapannya, di atas rerumputan, terduduk memeluk lutut seorang sahabatnya. Wanita berkulit putih yang tampak anggun dengan hijab merah muda bermotif garis.
Keduanya membuang pandang. Mereka seolah terpesona menengok aduhainya lenggok ilalang.
Meskipun mata tak sepandang, tapi mulut mereka saling membicarakan rasa yang membakar asa.
"Sahabat, ini memang tak adil. Wanita lebih banyak dari pria." buka wanita berkerudung merah muda, masih dengan pandangan kosong.
"Aku mengaguminya." balas sahabatnya.
Gadis berkerudung merah muda itu tersenyum kecil, sambil melemparkan pandangan ke arah burung pipit yang beramai-ramai terbang. Kali ini, dia menarik kedua telapak tangannya ke belakang badan dan menapakkannya ke tanah.
“Aku mengaguminya. Sudah lama aku mengaguminya. Aku mengaguminya, walaupun tak bisa memilikinya." tambah sahabatnya dengan intonasi bicara naik.
Wanita berhijab merah muda ini menengadahkan kepalanya ke langit dan menarik nafas lebih dalam.
"Kau sangat beruntung mendapatkannya." sambung sahabatnya, membuatnya semakin serba salah.
"Sudahlah!" tegasnya pada sahabatnya.
Wanita itu berdiri dan membalikkan badan. Ia melihat sahabatnya masih memandang jauh ke seberang bukit. Dia kesal. Tentu. Saat ini, di hadapannya ada seorang wanita manis yang ternyata mengagumi kekasihnya. “Kau sahabatku dan dia kekasihku, mengapa?”. Seperti itulah pertanyaan yang muncul di benaknya. Ia menunduk. Menarik nafas. Kali ini lebih dalam lagi untuk dilemparkan ke udara sampai terdengar desah “Hah”.
"Dulu,,,,,” dengan intonasi bergetar. Ia melangkah ke arah sahabatnya.
“Dulu, aku pun mengagumi seorang pria." ia bersandar pada mobil dan berada tepat di sisi sahabatnya itu. Tetap dengan pandangan kosong.
"Ya. Ketahuilah, aku sudah lebih dulu mengagumi pria. Bahkan, aku sudah pernah jatuh cinta.”
Sahabatnya tampak mendengarkan dengan tenang. Ia menengok ke arah sahabatnya yang baru ia kenal beberapa bulan saja. Ia menatapnya beberapa detik, sebelum akhirnya melanjutkan bicara.
"Saat SMA, aku pernah begitu mengagumi seniorku. Sejak pertama bertemu dengannya aku langsung mengaguminya. Hari ke hari, terus dan terus bertambah rasa kagum itu. Setiap detik ia seperti ada di hadapanku. Ia adalah pria terhebat yang kutemukan saat itu. Dia ganteng, manis, ramah, pintar dan bersahaja. Sempurna. Aku sempurna mengaguminya.” jelasnya sambil tersenyum malu.
Ia menatap wajah sahabatnya, memastikan bahwa sahabatnya masih punya oksigen untuk bernafas, pasca mendengar ceritanya. Sahabatnya itu masih menunjukan ekspresi seperti mayat hidup.
 “Saat itu, aku merasa hanya seorang diri di dunia ini. Ya. Dunia serasa adalah milikku. Seolah-olah, hanya aku yang mengaguminya. Aku bisa menemukannya kapanpun dan dimanapun. Aku selalu mencarinya. Aku selalu harus menemukannya. Karena aku mengaguminya. Aku bahagia saat melihatnya.” wanita itu tersenyum pada sahabatnya.
“Indah yah, perasaan seperti itu?” ia menatap sahabatnya dengan senyum damai. Tapi, sahabatnya masih acuh.
“Sangat indah. Membuatku ingin merasakannya lagi dan lagi. Bahkan, saat dia di hadapanku, rasanya tak cukup waktu satu jam untuk memandanginya. Memandanginya saja aku sudah bahagia. Ehm, gila. Teman-temanku sesekali mengatakan itu. Tapi, mereka selalu memberitahuku bila ia lewat depan kelas. Karena, mereka tahu kalau ia sudah seperti susu bagi seorang bayi yang haus. Ya. Akulah bayinya. Hehe.” ia tertawa sampai bahunya bergetar.
“Tapi, mau tahu gak apa yang terjadi setelah aku begitu mengaguminya?” kali ini, ia berharap sahabatnya memberi tanggapan.
“Huuuuhft. Aku kecewa." dengan menunjukan tampang cemberut.
"Ternyata, senyumnya itu bukan hanya untukku. Ketampanannya pun bukan milikku. Ternyata, pria yang selama ini kukagumi sudah punya kekasih. Seorang wanita yang biasa saja. Tapi, pasti memiliki keluarbiasaan hingga mampu mendapatkan hati pria yang begitu kukagumi. Aku penasaran padanya. Aku mencari tahu tentangnya. Terus dan terus. Aku memastikan bahwa apa yang ada padanya, aku juga punya. Bahkan, kurasa aku punya lebih banyak keahlian dari pada dia.” sedikit merasa jenuh dengan wajah temannya yang bereaksi datar, wanita itu melingkarkan tangannya di dada sambil lagi-lagi menarik dan melemparkan nafas.
“Semua tindakan itu pada akhirnya hanya bikin dadaku sesak. Tempramenku naik. Bawaannya bĂȘte. Jadi malas mandi, malas belajar, malas bicara. Semua orang di dekatku jadi nge-betein. Aku tersiksa. Aku tersiksa oleh ketidakpuasanku dengan keadaan itu. Semakin hari, kekagumanku pada seniorku semakin mencekik hatiku. Aku semakin mudah merindukannya. Aku semakin mudah menemukan wajahnya. Ilusi. Hmm. Ya. Otakku ini sudah seperti DVD yang terus saja memutarkan scene film yang berisi wajahnya. Aku tersiksa. Perasaan itu sangat memalukan. Ya. Mencintai kekasih orang itu memalukan. Menyakitkan. Memuakkan. Rasanya ingin membenamkan diri saja. Ini terlalu tidak adil bagiku. Tidakkah Tuhan tahu bahwa aku mengaguminya. Teman-temanku bilang, aku sedang jatuh cinta. Cinta. Aku tidak tahu apa itu. Yang jelas, aku sedang merasakannya. Merasakan bahagia saat melihatnya, damai saat bersamanya, tenang saat mendengar suaranya, tapi justru malu untuk menatapnya. Aku juga merasakan dadaku sesak saat ia tak ada. Sepertinya, tak ada udara di sekitarku. Aku ingin kembali merasakan kebahagiaan itu, kedamaian itu, ketenangan itu. Dan hanya saat bersamanya aku dapat merasakannya. Tapi, semua berubah saat kutahu dia sudah ada yang punya. Aku sekarat. Tak ada udara lagi.” dia berdiri tegap dan seperti ingin menangis pada sahabatnya.
“Itu memang tidak adil. Harusnya aku yang bersamanya. Aku mencintainya. Itu terlalu menyakitkan.” ia sedikit memadam setelah mengungkapkan itu.
“Aku tetap berusaha menghubunginya. Untuk sekedar tahu kabarnya. Harapan memang tak pernah mati. Seandainya ia putus dengan wanita itu, aku pasti akan bersandar di sisinya. Tapi, memang malang nasibku. Harapanku memang harus dimatikan. Wanita luar biasa itulah yang mematikan harapanku. Aku dihina. Dicaci maki. Dibilang gak laku karena masih saja mengagumi kekasihnya. Entahlah. Apa itu benar? Sebenarnya ada yang mendekatiku. Tapi, hatiku sudah memilihnya. Gak mudah untuk melupakannya. Aku menginginkannya. Hanya dia saja. Tak perlu yang lainnya” wanita itu kaget saat menyadari sahabatnya sedang menatapnya yang asyik bercerita. Dengan kikuk, ia melanjutkan ceritanya.
“Egois. Gak punya perasaan. Apa kau mau bilang begitu padaku? Berat! Pria itu sudah terpatri di sel-sel otakku. Untuk menginstal ulang sebuah komputer saja butuh waktu, apalagi menginstal otakku. Aku patah hati. Jelas. Sangat. Tapi,,,,” ia menghadapkan tubuhnya ke arah sahabatnya dan bicara sambil berpandangan.
“Mau tahu gak, apa yang bikin aku berhasil melepasnya?” ia memandang sahabatnya dengan penuh harapan wanita itu menganggukan kepala. Syukurlah, sesuai harapannya.
“Mamaku bilang. Wanita baik hanyalah untuk pria baik. Seniorku itu bisa jadi baik. Tapi, belum tentu ia sebaik diriku. Atau mungkin, justru sebaliknya. Akulah yang harus terus memperbaiki diri agar sepadan dengannya. Selain itu, masa iya sih aku gak laku seperti yang dikatakan kekasihnya. Kata Mama, aku gak jelek kok. Walaupun gak beautiful. Ya. Biasa-biasa saja. Lumayan lah. Hehe.” mereka berdua tertawa kecil. Akhirnya.
“Tapi, pasti ada yang mencintaiku seperti aku mencintai seniorku itu. Dan aku layak untuk dicintai seperti itu.” ia menatap sahabatnya itu dan menggenggam tangannya.
“Sahabatku, tidakkah kau merasa bahwa inilah waktunya. Waktu dimana aku dicintai. Waktu dimana aku mencintai. Waktu dimana aku merasakan kebahagiaan, kedamaian dan ketenangan yang dulu pernah hilang. Inilah janji Tuhan. Bahwa aku adalah untuk laki-laki yang tepat untukku. Kau cantik sahabatku. Kau pun pintar. Jauh lebih pintar dariku. Kau hebat. Ada seorang pria di luar sana yang butuh kau hebatkan. Kau untuknya. Dia untukmu. Jangan matikan harapanmu dengan terus mengharapkan pria yang kucintai. Aku memahami hatimu. Karenanya, aku tidak memakimu sebagaimana aku pernah dimaki.” wanita itu mulai terbawa emosi dan menangis.
“Demi airmata yang kau lihat di pipiku ini, aku bersumpah bahwa aku mencintai pria yang kau kagumi dan kau harapkan itu. Dia pun memilihku. Tak bisakah ikhlaskan dia untukku? Allah pun pasti takan ikhlas bila kau terus terluka. Terluka karena mengharapkan kehancuran hubungan kami. Aku yakin kau tidak begitu. Aku ingin kau bahagia, seperti bahagianya aku.  Kau pantas untuk itu. Tentu dengan pria yang tepat untukmu. Percayalah, kau akan segera berjumpa dengannya. Mengertilah, jangan yang ini. Aku mencintainya.”
Sahabatnya memeluk wanita itu sambil menangis. Keduanya menangis karena besarnya rasa cinta pada pria yang sama. Tapi, batin keduanya sebagai sesama wanita tentu saja jauh lebih kental. Apalagi, mereka sama-sama sangat yakin pada keMahaan Allah SWT. Mereka bersahabat. Mereka sama sekali tak ingin ada yang tersakiti. Meskipun menyadari ikhlas itu tidak mudah, tapi sahabat selalu di atas segalanya.
Setelah kejadian hari itu, gadis berhijab merah muda dan kekasihnya merasakan kelapangan dalam hati mereka. Mereka saling mencintai tanpa khawatir melukai oranglain. Mereka pun terus merajut mimpi perSATUan ikatan suci mereka.
Sebagai sahabat, tak hentinya mereka mensupport sahabat mereka agar lekas menemukan jodohnya.
(Ini adalah cerita fiksi yang terinspirasi dari pengalaman pribadi penulis :)


Referensi untukmu yang mengalami kasus di atas. Berikut ini kukutip dari psikopopnya Witha Aditia dengan judul bukunya “LOVE CHEMISTRY”.
Sejak dulu kebanyakan orang selalu beranggapan bahwa hati merupakan pusat dari cinta. Namun baru-baru ini (aku sudah membaca buku ini sejak tahun 2006) beberapa ilmuwan berpendapat bahwa cinta ada di pikiran atau otak manusia, dijalankan oleh zat-zat kimia dan proses kimiawi yang terjadi dalam dirinya. Nah, proses kimiawi yang terjadi saat kita sedang jatuh cinta inilah yang disebut chemistry. Tidak semua orang sadar bahwa pada pasangan terdapat chemistry yang menyebabkan telapak tangan mereka menjadi berkeringat, perut menjadi hangat, jantung berdebar dan grogi. Chemistry juga berperan pada kehangatan dan kenyamanan perasaan saat sedang bersama seseorang yang kamu kagumi.
Bagaimana chemistry bekerja? Menurut Anne Marie Helmenstine, Ph. D. komunikasi nonverbal memegang peranan penting saat seseorang tertarik dengan oranglain. Misalnya saja, saat kamu sedang berjalan ke toko buku, tiba-tiba saja mata kamu tertumbuk pada satu sosok cowok/cewek keren yang berlalu di depanmu. Tanpa kamu sadari, wajahnya sudah menghiasi mimpi-mimpi indahmu. Setiap kali kamu teringat padanya, hatimu menjadi berbunga-bunga. Padahal, baru sekali itu saja kamu bertemu dengannya. Nah, di sinilah peran chemistry.
(Aku sudah mengalaminya. Kejadian itu terjadi hanya sekali. Tapi mampu membuatku menunggunya selama setahun. Padahal, selama setahun itu ya hanya sekali itu bertemu dengannya. FHM :).

Apa yang membuatmu jatuh cinta pada si A, bukan si B? Menurut ahli psikologi dan psikoterapi, ketertarikan seseorang kepada oranglain biasanya merupakan perwujudan alam bawah sadar mereka terhadap kenangan-kenangan masa lalu. Para ahli itu percaya bahwa setiap orang akan beranjak dewasa dengan meninggalkan beberapa permasalahan yang tak terselesaikan. Sedangkan menurut pakar genetika, sedikitnya ada dua faktor biologis. Pertama adalah bau. Indera penciuman kita secara gak sadar akan mendorong kita untuk menyukai seseorang yang secara genetika serasi dengan kita namun memiliki tali persaudaraan yang jauh dengan kita. Kedua adalah gen. Gen telah memprogram otak kita untuk memilih seseorang yang memiliki kesamaan dengan diri kita.

Untuk lebih jelas, silahkan baca bukunya.. :D
#Semoga bermanfaat dan menginspirasi. kritik dan saran selalu kunanti :)
http://www.facebook.com/notes/elsa-khalafathunissa/cinta-is-following-otak/10151054093741352

No comments: