Reading a Poem

Reading a Poem
Alone

Saturday, June 02, 2012

~Semua Berkat Do'a Mereka~

(Kawan, luangkanlah waktumu untuk membaca tulisanku ini. Barangkali, akan banyak menyita waktumu. Jadi, ada baiknya pergilah dulu ke toilet, siapkan makanan dan minuman di sampingmu. hehe. Selamat membaca)

"Aku mau ke sana, pokoknya mau ke sana. Temenin ya." paksaku pada Wisnu, sebelum ulang tahun (ultah)-ku pada 12 April lalu.

Hari itu, aku bahagia banget saat tahu kalau dia bersedia menemaniku bersilaturahmi ke rumah Mama.
Aku memang sangat merindukan Mama. Entah kenapa, aku sangat merindukannya. Mama yang kurindukan ini, bukanlah ibuku. Bukan juga bibi atau saudaraku. Dia adalah Mama dari pria yang pernah kucintai. Ya. Pernah kucintai. Itu artinya, sekarang gak lagi.

Mama adalah seorang ibu yang ramah. Dia sangat lembut, saat menyambutku di rumahnya. Dia begitu penyayang, persis Putra sulungnya. Pertama kali kami bertemu, adalah pada tanggal 02 November 2007. Saat itu, adalah hari ultah Putranya. Aku datang ke rumahnya untuk memberi kejutan pada Putranya. Sejak saat itu, aku mengenal Mama.

"Walaupun A'a kerja di Jakarta, Ade main aja ke rumah. Temuin Mama." pesan Pria asal Sukabumi itu.

Setelah hari itu, aku masih sering datang ke rumah Mama. Tapi, aku gak pernah berani datang, kalau Putranya gak ada di rumah. Aku malu.Terakhir kali aku bertemu Mama, adalah pada tanggal 02 November 2010. Saat itu, aku datang ke rumah Mama, untuk menemani Putranya yang sedang sakit, di hari ultahnya. Boleh dibilang, itu adalah hari terakhir pula bagiku dan Putranya bertemu. Aku ingat, pada hari itu, pria yang pernah kucintai sangat manja padaku. Dia sangat manis. Mungkin, karena dia sedang sakit.

"Makasih ya De, masih ingat ultah A'a. Cuma Ade aja loh yg ingat." ujarnya.

Hari itu, gak ada black forest seperti 3 tahun lalu. Aku yang datang sepulang kerja, hanya sempat membelikan 2 buah gelang untuknya. Aku membelikan gelang, karena dia sangat gemar memakai aksesoris (sedikit menyesal, setelah tahu bahwa aksesoris yang boleh dipakai pria hanya cincin). Kedua gelang itu, ada padanya 1 buah dan ada padaku 1 buah lagi.

Hari itu, kami bertiga. Aku, A'a dan Abang (tetangganya), merayakan ultahnya dengan sederhana. Saat itu, Abang menyuguhkan Bika Ambon untuk kami. Lalu, kami meminta A'a untuk meniup api dari korek api milik Abang. Hehehehe, kocak banget kalau ingat kejadian itu. Itu adalah ultahnya yang ke 21. Tapi, masih saja seperti ultah anak TK. :D. Aku sempat merekam kejadian itu. Tapi sayang, handphoneku hilang.

Setelah hari itu, aku gak pernah lagi bertemu A'a, apalagi Mama. Hubunganku dan Abang juga sempat renggang, karena ada salah faham di antara kami. Terakhir kali A'a mengirim SMS padaku, adalah pada ultahku yang ke 19 tahun, tahun lalu. Beberapa hari setelah itu, nomor handphonenya sudah gak aktif lagi.

A'a selalu begitu. Dia selalu saja mengganti nomor handphone. Entah apa alasannya, aku sendiri gak pernah sempat menanyakannya. Yang pasti, sejak dia lulus SMK di tahun 2007, dua tahun lebih dulu dariku, dia selalu muncul-tenggelam di dalam hidupku.

Aku dekat dengan A'a pada awal tahun 2007. Aku sempat salah mengartikan perhatiannya padaku. Kukira, dia mencintaiku. Jadi, aku sempat menaruh hati padanya. Tapi, gak memakan waktu lama, semuanya terungkap. Pada awal tahun 2008, dia mengakui bahwa dia hanya menganggapku adiknya. Sejak hari itu, kecewa, sakit, marah, jengkel dan sedih bercampur di pikiranku. Aku menyesal karena baru mengetahui kenyataan itu, setelah sekitar 3 bulan gak dapat kabar darinya yang sedang merantau di Jakarta. Sementara, aku dan keluarganya ada di Bogor. Kendati begitu, aku tetap berbesar hati memaafkannya dan tetap berusaha jadi adik yang baik untuknya. Itu juga yang Mama tahu tentang kami. Di mata Mama, dia juga hanya menganggapku sebagai adik angkat dari Putranya. (Itulah yang tersirat).

Memasuki bulan April lalu, aku mengalami fase puncak dari sensitifitasku. Biasalah, menjelang ultah, pasti sensitif. Sejak awal bulan, aku menghubungi banyak temanku. Aku menghubungi mereka, untuk sekedar mengingatkan mereka pada ultahku yang sudah dekat. Hehe. Sayang, A'a sangat susah dihubungi. Aku mencari nomor handphonenya, tapi gak ada yang punya. Aku juga mencari akun Facebooknya, gak ketemu. Sampai akhirnya, aku berniat untuk datang ke rumahnya dan menemui Mama.

Jelas aku gak berani datang ke sana sendiri. Makanya, aku minta Wisnu (sahabat A'a. Pria yg lebih dulu kucintai darinya) untuk menemaniku. Semula, dia mengiyakan untuk menemaniku ke sana. Tapi, setelah aku menunggu seharian, ternyata dia malah tertidur dan gak jadi menemaniku.

"Iiiiiih, gimana sih?"
"Maaf. Ya udah sekarang aja ke sananya." bujuknya.
"Udah malam tau! Gak enak aaaah bertamu malam-malam begini."

Gara-gara kejadian itu, aku gagal ke rumah A'a. Wisnu memang gak senang kalau aku minta ditemani ke rumah A'a. Tapi, pikirku, kisah cinta SMA di antara kami bertiga sudah lama berlalu. Saat ini, aku hanya ingin silaturahmi.

Hingga hari ultahku pada tanggal 12 April lalu, aku gak juga berhasil menghubungi A'a. Karena gak ada komunikasi, jelas saja dia gak datang ataupun sekedar memberi ucapan selamat di hari ultahku yang ke 20 ini. Aku merasa sangat kehilangan. Aku berharap bisa secepatnya berkomunikasi dengannya.

Dua hari setelah ultahku, aku mendengar kabar kalau A'a datang ke sini. Dia datang untuk menghadiri pernikahan teman sekolahnya. Malang, pada hari yang bersamaan aku justru berangkat ke Jakarta. Karena urusan kampus. "Ya sudah, nanti juga bisa ketemu lagi." pikirku.

Kerinduanku pada A'a makin menjadi. Ini gara-gara aku melihat penampilan band The Adly's. Soalnya, Bassist band itu agak mirip dengannya. Apalagi, lagu ciptaan band itu banyak yg romantis, seperti lagu yg pernah A'a ciptakan untukku. Pada hari itu, aku bersikeras mencari akun FB-nya. Tapi, masih saja gak ketemu. Akhirnya, kutuliskan kerinduanku itu dalam sebuah catatan berjudul "Mendung Pengantar Rindu". Catatan ini telah memperpanjang deretan 'catatan' di akun FB-ku.

Sehari setelah itu, pada tanggal 30 April, aku bertemu dengan teman sekolah A'a yang kemarin menikah.

"Har, kemarin A'a datang ya, ke nikahan kamu? Kamu punya nomor hp-nya gak?"
"Iya kemarin dia datang sama Wisnu. Nih, ada kok nomornya. Kabarnya sih dia juga mau nyusul nikah." jelas Hari.
"Oh. Gitu." jawabku dengan sedikit menghela napas, saat mendengar ucapan Hari itu.

Aku mencatat nomor A'a dan langsung berpamitan pada Hari.

"Assalamu'alaikum. Ini nomor A'a yah? Ini Ncha." ujarku dalam pesan singkat.
"Ncha mana?"
"SMK TJ"
"Mana?"

Aku heran, kenapa A'a masih saja gak mengenaliku.

"Ini A'a bukan sih?"
"Istrinya."

Gubraaaaaaxxxxxx!!!!
Aku terkejut membaca pesan itu. Tadi, Hari bilang kalau A'a akan segera menikah. Tapi, apa benar sudah menikah tanpa sepengetahuanku.

"Maaf ya Teh kalau ganggu. Cuma mau silaturahmi aja sama A'a. Alhamdulillah sudah nikah. Kok gak ngundang?" balasku, berusaha santun.
"Ya gak apa-apa. Baru akad, belum acara."
"Oh. Gitu. Kalau acara undang ya, Teh. Sekarang tinggal dimana?"
"Iya tar dibilangin sama A'a. Di Bandung."

Aku berusaha menarik napas dalam-dalam setelah mendengar penjelasannya itu. Selama dua tahun ini, aku memang gak banyak tahu tentang A'a. Wajar, kalau sekarang aku terkejut mendengar kabar pernikahannya. Tapi, apa benar mereka sudah menikah?

"A Wisnu, kenapa gak bilang kalau A Sofyan sudah nikah?"
"Ah, masa?"
"Iya. Tadi aku SMS Dia. Yang balas Istrinya."
"Kirimin nomor Dia."

Wisnu, yang adalah teman baik A'a saja gak tahu soal pernikahan itu. Masa sih, A'a nikah tanpa sepengetahuan sahabatnya itu.

"Dibalas gak?"
"Gak. Gak ada pulsa kali Dia."
"Yang balas SMS-ku tadi Istrinya pke nomor yg beda."

Aneh. Kenapa giliran Wisnu yg SMS, justru gak ada balasan. Apa yang sebenarnya terjadi dengan A'a?

Sabtu, 05 Mei.
Hari ini, aku gak ada acara. Motor juga standby bersamaku. Haruskah aku ke rumah A'a? Tapi, untuk apa aku ke sana? Dia 'kan sudah jadi suami orang. Lagipula, dia juga gak ada di rumahnya. Misalnya dia ada, mungkin ada istrinya juga di sana. Kalau istrinya marah saat melihatku, gimana? Aduh. Ke sana gak ya? Aku pengennya sih ke sana. Setidaknya, ingin bertemu Mama. Aku kangen sama Mama. Selain itu, aku juga ingin silaturahmi dengan Abang.
Untuk beberapa waktu, aku sempat ragu untuk datang ke sana. Tapi, hati kecilku benar-benar ingin ke sana. Apapun yg nanti akan terjadi, itu adalah resiko. Yang pasti, aku ingin datang dulu ke sana. Lillahi ta'ala.

Jam 14:30, aku baru menyelesaikan rangkuman materi kuliah dari internet di sebuah warnet. Dengan mengucap Bismillah, aku menarik pedal gas motor dan segera menuju kediaman A'a. Aku sadar, aku gak ingat persis jalan ke sana. Tapi, dengan mengandalkan kompas naluriku, aku menelusuri jalan-jalan di sana.Pada langkah pertama, aku sempat melewati gang rumahnya. Akhirnya, aku putar balik sekitar 500 meter. Setelah memasuki gang itu, aku merasa cukup optimis masih mengingatnya. Tapi, rupanya aku memasuki gang yang salah.

"Bu, kalau BTN di mana?"
"Bukan yang ini Neng. Dari sini ke bawah. Trus, kalau ada cagak ambil yang ke kiri."

Akhirnya, aku mengikuti petunjuk itu. Setelah di BTN, harusnya aku ingat dimana tembusannya. Karena, sudah beberapa kali aku ke sini. Tapi, sekitar dua jam berputar-putar dan bertanya ke sana-sini, tembusan ke rumahnya itu gak juga ketemu. Seharusnya, rumahnya ada di sebuah perkampungan di belakang BTN di desa Pabuaran, Cibinong-Bogor. Bodohnya, aku gak tahu alamat rumahnya. Aku cuma ingat nama A'a dan Abang. Bayangkan, ada begitu banyak nama yang sama dengan nama mereka. Bahkan, aku sempat sampai ke rumah seseorang yang namanya sama dengan Abang.

"Ibu, maaf. Sepertinya saya salah orang. Bukan yang ini rumahnya." jelasku malu pada seorang ibu paruh baya, pemilik rumah itu.

Sudah jam 5 sore. Langit semakin gelap dan terus bergemuruh. Sepertinya akan hujan.

"Ketemu gak?" tanya seorang ibu pemilik konter pulsa. Aku sempat mengisi pulsa di sana dan bertanya padanya.
"Gak Bu.""Sekarang mau ke mana? Kalau ke sana, arah Puri Cikaret."
"Iya sudah."

Aku sudah terlalu lelah untuk mencari jalan keluar. Terserahlah, nih motor akan mengarah ke mana. Kepalaku pusing. Bahu, lengan dan kakiku sudah pegal karena menopang motor. Aku sudah nyaris putus asa.Tapi, aku masih penasaran. Aku sudah sejauh ini, haruskah pulang dengan tangan kosong?
Melihat aliran sungai di tepi jalan, aku memarkirkan motor. Aku mencoba menghubungi Wisnu, yang sedari tadi gak bisa dihubungi.

"Ya udah, minta jemput Abang aja."

Wisnu mengirimkan nomor hp Abang padaku. Sebenarnya, beberapa bulan yang lalu Abang sempat marah padaku. Dia memintaku untuk gak menghubunginya lagi. Aku agak ragu, apakah dia bersedia menjemputku?

"Bang, Ade ada di BTN. Bisa jemput gak? Dari tadi muter-muter nih."
"Emang mau ngapain? A'a kan gak ada."
"Gak apa-apa. De mau silaturahmi aja ke sana."

Setelah aku memberi petunjuk keberadaanku, finally Abang menjemputku. Huft! Legaaaaaaa rasanya. Aku bahagia sekali saat melihat pria berkulit putih itu di hadapanku. Itu artinya, aku akan segera sampai di rumahnya. Artinya, usaha dan kesabaranku gak sia-sia.

"Abaaaang." teriakku, sembari menunjukan ekspresi senang tiada tara. Bahkan, airmataku ikut menetes karenanya.

Kami masih harus menempuh perjalanan sekitar 5 menit. Abang membawa motornya di depanku. Aku mengikutinya dengan baik, memastikan agar ia gak meninggalkanku. Alhamdulillah, rasanya ingin menari saja saat tiba di rumah yang sudah sangat kuhafal.

"Aduh Bang, De pengen nangis. Terharu banget. Hik, hik." ujarku. Abang hanya tersenyum.
"Masuk, De. Kok tiba-tiba ke sini, De?""Mau silaturahmi aja. Kayaknya, ada yang ngambek ya sama Ade? Hehehe."
"Abang gak ngambek, cuma pengen ngilang aja."
"Syukur deh. Bang, De dengar si A'a udah nikah?"
"Belum."
"Ihhh, De sms dia. Yang balas istrinya. Si Dede ada di rumah gak?"

Aku mencoba mengklarifikasi kabar itu pada Abang dan juga menanyakan keberadaan adik perempuan A'a.

"Siapa sih, Bang?"

Mungkin, dia lupa padaku.

"Siapa? Eh, Teteh yang dulu bawa black forest buat A'a ya?"

Alhamdulillah, dia ingat. Hehehe.

"Iya, Neng. Mama ada?"
"Ada Teh. Ke rumah yuk."

Akhirnya, kami bertiga pindah posisi ke rumah A'a.

"Sebentar ya Teh, Mama lagi mandi."

Dag.Dig.Dug..
Jantungku terus saja berdetak cepat, memainkan ritmenya. Mungkin, kata yang sama akan keluar juga dari mulut Mama. "Siapa ya?" hikz. Miris. Hehe.. Tapi, aku tetap berusaha tenang.

Senyum mengembang hadir di atas bibir mungilku saat melihat Mama mendekat. Aku segera menyambut tangan kanannya sebagai bukti hormat dan rinduku. Mama menatapku. Terus saja menatapku yang masih tersenyum padanya.

"Cantik banget sih, Neng." ujarnya, sambil tetap menatapku.
"De, ini yang Mama pengen. Menantu yang begini." tambahnya pada Dede.

Subhanallah! Hatiku yang sempat mengempis pasca mendengar kabar pernikahan A'a, seketika mengembang dan menebarkan harumnya bunga-bunga harapan.

"Mama." jawabku lirih.
"Benar A'a udah nikah? Kemarin Cha sms dia, yang balas istrinya." aduku.
"Belum. Nanti tanggal 27 Mei. Aduuuh. Coba Cha datang sebulan yang lalu. Mama pasti nyuruh A'a nikah sama Cha aja." ujar Mama sambil menunjukan ekspresi kecewa.

Keningku berkerut. Ini sama sekali di luar dugaanku. Ucapan Mama itu. Ya. Aku sama sekali gak pernah menduga ia akan mengucapkannya. Hari ini, aku datang ke sini karena merindukannya. Hanya itu. Merindukannya sebagai Mama dari kakak angkatku. Bukan dari pria yang pernah kucintai. Sungguh. Kukira, selama ini Mama hanya menganggapku adik angkat putranya. Aku sungguh gak mengira kalau dia mengharapkanku lebih dari itu.

"Mama tuh berharap A'a dapat istri yang seperti ini. Berjilbab. Sholeha. Sayang sama Mama. Aduh, Ncha. Coba aja..." jelas Mama yang diselingi desah harap.
"Sebenarnya, sudah lama Cha ingin ke sini. Gak tahu kenapa, rasanya ada tarikan kuat. Cha pengen banget ke sini. Hari ini aja, Cha nekat, Mah. Tadi sempat nyasar dulu. Muter-muter nyari tempat ini. Yah. Sekarang semuanya udah begini, Mah. Mungkin terlambat. Cha bukan jodohnya A'a kali, Mah. Maafin Cha, Mah." sesalku.
"Ya, namanya juga jodoh. Gak ada yang tahu. Walaupun Mama sempat larang A'a sama orang Jawa, ternyata dapatnya Jawa juga. Mama takut, kalau A'a diatur-atur istrinya, Cha. A'a kan orang sunda. Biarpun begitu, Mama berusaha mikir positif terus. Insya Allah, Mama ikhlas ini yang terbaik buat A'a. Mama tetap sayang sama calon istrinya yang sekarang. Walaupun baru beberapa kali bertemu. Tapi, Mama berusaha ikhlas sayang sama dia." jelas Mama, berusaha realistis dan mensyukuri kenyataan hidup ini.
"Iya, Mah. Ini yang terbaik buat A'a."

Aku berusaha untuk menepis rasa bangga hati yang sempat mampir di otakku.

Sungguh, sewajarnya kuanggap ini adalah obat atas kecewaku pada A'a beberapa tahun silam. Kawan, tahukah betapa bahagianya diharapkan sebagai menantu oleh seorang ibu yang begitu ramah dan penyayang? Tentram benar hatiku. Walaupun aku gak mendapatkan hati putranya, tapi setidaknya Allah membelalakan mataku dan memberitahuku bahwa aku gak seburuk itu. Aku masih memiliki nilai di mata ibunya. Kawan, tahukah betapa banyak luka dan kecewa yang kudapati sebelum hari ini tiba? Selama lima tahun, aku mengira bahwa aku ini gak pantas dicintai. Karena, baik A Sofyan ataupun A Wisnu, keduanya hanya menganggapku adik. Ada banyak yang lainnya, yang mengemukakan hal yang sama. Sungguh. Aku gak butuh kakak. Aku butuh cinta!

Hari ini, setelah mendapat sedikit sinyal dari Mama, aku beranikan diri untuk mengungkapkan rasaku.

"Tapi, Cha pernah ada rasa gak sama A'a?" tanya Mama.
"Mah, sebenarnya, A'a itu teman curhat Cha. Cha kenal duluan sama Wisnu. Cha jatuh cinta duluan sama Wisnu. Tapi, Wisnu bersikap mau gak mau sama Cha. Sebentar Dia kasih harapan, terus menghilang. Begitu terus. Akhirnya, Cha curhat sama A'a. Akhirnya, jadi sayang sama A'a. Waktu Cha ke sini bawa black forest di ultah A'a, itu waktu Cha udah sayang sama A'a. Tapi, A'a bilang, Dia cuma anggap Cha adik. Mungkin, Dia gak enak sama Wisnu, Mah." jelasku.
"Iya sih. A'a sama Wisnu itu sahabat baik. Main bareng, tidur bareng bahkan segelas dan sepiring. Mungkin, kalau sahabat jauh, A'a masih berani dekatin Cha. Tapi, iya begitu kali yah. A'a gak pernah cerita sih sama Mama. Cha juga gak cerita. Coba kalau cerita. Pasti Mama bantu. A'a mah nurut sama Mama dan Dede. Iya gak, De?" jelas Mama, sembari melirik pada putrinya.
"Hehehe. Cha gak berani, Mah. Yah. Mungkin sudah digariskan begini, Mah."
"Iya juga yah. Ya udah, Cha sama Abang aja. Atau sama keponakan Mama yah. Aduh, senang banget yang dapet menantu kayak Cha." harap Mama. Ia semakin menunjukan ekspresi cintanya.
"Hahaha, Mama. Kemarin, Cha sempat dekat sama cowok. Dia mirip banget sama A'a. Wajahnya, sikapnya, tutur lembutnya, kecintaannya pada musik, dunia retail dan keluarga. Dia juga asal Sukabumi, sama kayak A'a. Cha senang banget Mah waktu kenal Dia. Cha merasa nemuin lagi sosok A'a. Apalagi, Dia tuh anak yatim piatu. Cha seperti dapat panggilan jiwa untuk menyayanginya. Tapi, sayang Dia mutusin Cha. Soalnya, Cha nantang Dia nikah. Habis, gaya pacarannya kurang sehat. Cha gak bisa pacaran begitu, Mah. Saat Cha coba ngingetin Dia, Dia justru minder. Dia bilang, Dia bukan pria yang pantas buat Cha. Cha disuruh pacaran sama ustadz, Mah. Hehehe."
"Tapi, emang begitu kali. Wanita seperti Cha emang harus dapat lelaki yang terbaik. Sekarang Cha kerja dimana?"
"Cha ngajar di TK, SD dan private. Cha juga masih kuliah sastra inggris, baru semester empat, Mah."
"Tuh, apalagi karir Cha juga bagus. Harusnya Cha dapat lelaki yang setimpal dengan Cha. Yang baik karirnya, pendidikannya dan agamanya. Iya. Mama yakin Cha pasti dapat lelakinya yang begitu. Benar, Cha. Mama yakin. Pokoknya, Mama doain agar Cha dapat lelaki yang baik, mapan, penyayang dan soleh. Yang terbaik buat Cha. Nanti, kalau Cha nikah. Cha harus undang Mama. Jangan lupa sama Mama, sama keluarganya A'a. Walaupun Cha gak jadi menantu Mama, tapi Mama udah sayang sama Cha. Ah, Mama yakin, Cha pasti dapat lelaki yang terbaik. Sabar aja yah."

Ya Rabb. Maaf, kalau penjabaran ucapan Mama di atas, membuatku berbangga hati. Tapi, sungguh kuanggap itu sebagai doa yang tulus dari seorang ibu yang sudah dua tahun gak bertemu denganku. Aku hanya bisa mengamininya dan terus berupaya memantaskan diriku untuk mendapatkan pria, seperti yang Mama harapkan. Ucapan Mama itu, persis dengan yang Mamaku ucapkan saat aku down, karena kehilangan cintaku, demi sebuah prinsip. Mencintai karena Allah.

"Bersabarlah, Neng. Wanita baik hanya untuk pria baik. Cha sedang diuji. Sabarlah. Berbaik sangkalah pada Allah." itulah sumber kekuatanku.

Sampai di situ, aku pamit pulang. Mama terus menegaskan, agar aku gak lupa mengundangnya saat aku menikah nanti. Besar harapan Mama, agar aku mendapatkan suami yang terbaik.Setelah hari itu, aku segera menuliskan kisah ini.

Harusnya, sejak lama selesai. Tapi, karena berbenturan dengan waktu Ujian Akhir Semester (UAS) di kampus, aku memilih menundanya demi fokus pada ujian.

Ada banyak hal yang terungkap setelah pertemuanku dengan Mama. Ini berkaitan dengan putri keduanya. Dede, saat ini adalah murid kelas tiga di salah satu SMK di Cibinong. Kemarin, kami sempat mengobrol banyak hal. Sampai akhirnya, aku ingat. Adik dari pria yang mirip A'a juga kelas tiga di SMK yang sama. Aku sudah sangat dekat dengannya. Aku sangat menyayanginya. Sungguh. Aku menyayanginya bukan karena dia adalah adik dari pria yang pernah kucintai. Karena, aku mencintai kakaknya pun karena kecintaanku pada Rasulullah. Aku melihat mereka yang yatim piatu itu membutuhkanku. Setidaknya, aku ingin memberikan kasih sayang yang gak lagi mereka dapatkan dari sosok wanita berpredikat ibu. Tentu, itu saja. Karena, aku gak bisa jadi ayah.

Setelah kukonfirmasikan pada keduanya, ternyata benar. Kedua gadis remaja yang sudah kuanggap adik sendiri itu, saling mengenal karena satu sekolah. Sungguh indah rencana Allah. Semoga ada waktunya kita bertiga bisa main bersama. Hanya itu harapan yang tersisa. Semula, saat kuceritakan pada keduanya tentang kemiripan A'a dan pria yang baru kukenal November lalu, mereka memiliki sebuah harapan.

"Barangkali, Dia yang akan gantiin A'a Dede, Teh. Siapa tahu aja, dia jodohnya Teteh. Masih sayang yah Teh sama Dia?" ujar Dede.
"Masih. Tapi, Teteh kan sudah putus sama Dia. Teteh gak berani berharap banyak. Doakan yang terbaik aja buat Teteh ya, Neng."
"Pasti, Teh. De pasti doakan yang terbaik buat Teteh."

Hari terus berlalu. Doa beriring syukur terus terucap dari hati dan lisanku. Bukan hanya karena aku menemukan pria itu. Tapi, karena adik mereka. Selama ini, aku sangat menantikan adik perempuan. Aku ingin bisa berbagi cerita sebagai sesama perempuan. Tapi, selama 20 tahun hidupku, aku baru memiliki satu adik laki-laki. Jadi, aku merasa sangat bahagia bisa memiliki adik-adik perempuan dari pria-pria yang pernah kucintai. Gak apalah gak dapat kakaknya. Karena, aku sudah cukup bahagia mendapatkan adiknya ;).

***

Hidupku gak pernah sepi dari cinta. Bisa saja kubilang aku mencinta dia, pria yang mirip A'a. Tapi, pilihan akhirnya ada padaku. Apakah aku akan tetap menunggu sebuah kepastian yang semu. Menunggu seseorang yang kucintai itu, lalu berbahagia bila ia jodohku atau terluka bila tak begitu. Atau kulanjutkan kisah cintaku bersama cinta yang menyala terang di hadapanku. Sejujurnya, aku gak punya banyak energi untuk menanti. Pernah aku menunggu, kecewalah diriku karenanya.

Akhirnya, kini aku memilih yang kedua. Sebab, ia sendiripun memintaku untuk gak berharap. Karena, dia sama sekali gak menjanjikan apapun.

Aku membulatkan tekad mengambil keputusan, setelah sebelumnya mendapat dorongan dari Wisnu. Ia sama saja dengan yang lainnya. Dia mendorongku untuk menemukan lelaki yang berpendidikan dan beragama. Hal itupun disampaikan oleh pria-pria lainnya yang pernah masuk dalam kehidupanku.

"Bukalah hati dan pikiran kamu. Pria sepertiku sungguh gak pantas untukmu. Sampai sekarang aja, aku gak tahu apa tujuan hidupku. Sementara kamu, kamu sudah matang. Carilah pria yang berpendidikan, soleh dan mapan." begitulah ucapan mereka.

Ya Allah. Apa yang salah padaku? Apakah mimpiku untuk sukses ini terlalu membebani pria-pria di sekelilingku? Papa memang pernah bilang,

"Carilah pria yang sepadan denganmu. Minimal dia kuliah juga. Pendidikan itu penting." itu yang ia bilang.

Ucapan Papa itu, benar-benar mengusik batinku. Kupikir, apa pentingnya sepadan atau sederajat? Kesuksesan seseorang gak bisa diukur dari pendidikannya atau hal duniawi lainnya. Sungguh gak adil. Memang aku ini siapa? Aku sendiri saja bukan siapa-siapa. Lantas, kenapa aku gak boleh mencintai pria biasa-biasa saja?

Papa, maafkan anakmu ini. Sungguh. Aku mengerti bahwa kau ingin yang terbaik untuk putrimu ini. Maaf, bila aku terlalu naif memaknai arti cinta. Aku hanya berusaha melihat cinta dari seberapa besar cinta membutuhkanku. Hebat atau tidaknya si empunya cinta, kuyakin, aku cukup hebat untuk mampu menghebatkannya. Bukankah seindah-indahnya cinta adalah cinta yang menerima apa adanya?

Tapi, segala persepsiku tentang cinta dan mencintai hilang seketika. Semua layu saat menyadari mereka yang kucintai memilih mundur, karena merasa minder padaku. Bila mereka mencintaiku, pasti mempertahankanku. Tapi, kenyataannya tidak begitu. Pikirku.

"Baiklah! Aku akan lakukan yang kalian minta. Aku akan menemukan pria itu. Gak ada gunanya aku bertahan. Bila gak ada yang menahan."

Aku mencoba berpikir positif. Meski kusadar, gak mudah mendapatkan pria seperti itu. Karena, aku justru merasa aku ini biasa-biasa saja. Tuhan, bantu aku memantaskan diriku.

Untuk sementara waktu, aku merasa hatiku hibernasi. Ya. Seperti shandy si tupai dalam spongebob squarepants. Hatiku rasanya tertidur sementara, hingga waktu yang gak ditentukan. Aku memilih membiarkannya terbang. Bermain bersama awan. Menari bersama angin. Menunggangi petir dan mengalir bersama hujan. Dalam masa hibernasi ini, harapan tetap masih berkobar. 'Api vs Awan', 'Temukanlah Aku, Cinta', 'Mati Rasa' dan 'Wujud Cinta, Akan Tetap Sebagai Cinta'. Itulah beberapa judul puisi yang terpampang di 'catatan' FB-ku. Itulah riak-riak kecil yang keluar dari kepedihan yang menyisakan harap. Barangkali, tanpa harapan, matilah aku!

Hingga, hari itupun tiba.

Rabu, 23 Mei
Hari ini, jam 4 sore, aku berjanji untuk bertemu dengan seorang teman di Depok, Jawa Barat. Dia adalah pria yang kutemui pada bulan Maret tahun lalu. Untuk pertama kalinya setelah setahun, kami akan bertemu lagi.

Sebut saja Ikhie. Dia adalah seorang penulis. Tahun lalu, kamipun bertemu di pesta penulis bersama Writers Academy. Saat itu, aku dan tiga orang teman kuliahku datang demi mencuri ilmu-ilmu menjadi penulis yang handal. Tapi, pada saat yang bersamaan, Ikhie justru sudah mempromosikan bukunya, saat acara inti selesai.Aku sungguh iri pada beberapa orang yang sedang mempromosikan buku di depan panggung itu. "kapan ya, aku punya buku?" pikirku. Dari beberapa orang yang mempromosikan bukunya, buku Ikhie-lah yang cukup menarik perhatianku. Ya. Aku tertarik pada bukunya.

Sebenarnya, sudah sejak awal datang ke tempat seminar ini aku bertemu dengannya. Pertama, dia berdiri tepat di depanku, di dalam lift. Dia memakai baju koko berwarna hitam, dipadankan dengan celana hitam dan tas gemblok hitam. "Siapa sih nih orang. Seram banget." pikirku (:p). Setelah keluar dari lift, aku dan kawan-kawan masuk ke dalam ruang seminar. Kami kembali keluar untuk mencari mushola, karena belum sholat Dzuhur. Di depan mushola, untuk kali kedua, aku berjumpa dengan Ikhie. Aku melihat wajahnya. Tapi, dia masih belum ada sapa. Usai sholat, acara dimulai dan berlangsung sekitar tiga jam (kalau gak salah). Di tengah-tengah acara, aku melihat Ikhie berdiri dan mengajukan pertanyaan. Aku mulai mendengar suaranya. Terdengarlah kekritisan pola pikirnya dari pertanyaan yang ia ajukan.

Waktu promosi itu tiba. Semua buku yang dipromosikan sangat menarik. Tapi, buku berjudul TUHAN, IZINKAN AKU PACARAN (TIAP) karya Ikhie-lah yang paling menarik minatku untuk memilikinya. Judul buku itu saja sangat easy listening. Benar-benar mengena bagi remaja beranjak gede sepertiku. Hehe. Maklumlah, sejauh ini masih saja jatuh bangun dalam dunia cinta. Mungkin, itu karena aku gak ngerti apa itu pacaran. :p. Gak cuma itu, cara Ikhie mempromosikan bukunya pun sangat menarik. Kukira, dia adalah pria yang dingin. Ternyata, dia sangat supel dan menyenangkan. Aku bertekad, akan memilikinya (Memiliki bukunya. Pikirku saat itu. Hehe).

Hari ke hari setelah pesta penulis itu, aku selalu menyisihkan uang gajiku untuk membelinya. Tapi, saat sudah memegang uang, waktu untuk ke toko bukunya yang gak ada. Di saat semuanya komplit, ternyata aku justru sudah kehabisan bukunya.

"Mas, buku TIAP karya FHM ada gak?" tanyaku pada pramuniaga di sebuah toko buku terkemuka.
"Sold out, Mba. Ada di Gorontalo." jelasnya sambil menunjukan display stock barang di seluruh toko buku itu se-Indonesia.
"Yah. Gitu yah. Ya sudah, makasih."

Aku lekas meninggalkan toko buku itu dengan penuh kecewa. Aku berharap bisa membaca buku itu. :(

Tanpa melupakan buku itu, aku semakin semangat menulis. Tentu saja. Pesta Penulis yang kemarin kuhadiri sudah menyuntikan semangat menulisku. Tulisan-tulisanku biasanya dikoreksi oleh senior-seniorku di Lembaga Pers Mahasiswa kampusku, UT.

What a surprise! Aku menemukan akun FB beberapa rekan penulis. Termasuk akun FB milik Ikhie. Aku beranikan diri untuk menyapanya dan meminta pendapat soal tulisan-tulisanku.

"Subhanallah, ada penulis hebat di depanku." ujar Ikhie saat membaca tulisanku yang berkaitan dengan wanita pendakwah. (Tulisannya ada di rentetan 'catatan' FB ini. Bacalah.. :D )
"Kamu pernah ke KPAI ya?" tanya Ikhie, setelah melihat fotoku bersama teman-teman kampus di depan Komnas Perlindungan Anak Indonesia.

Untuk mendiskusikan masalah itu, akhirnya kami bertukar nomor handphone.

Pria yang sempat nyantren di Aceh ini, sangat ramah. Dia selalu membalas SMS-ku. Tentu saja, saat ia gak sibuk. Info yang berhasil kukulik darinya, ia adalah mahasiswa di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ia menempuh program pendidikan Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH) dengan konsentrasi perbandingan Mazhab Fiqih Internasional di Fakultas Syariah dan Hukum. Ia duduk di semester yang sama denganku. Selain itu, ia juga adalah seorang mahasantri di Darussunnah International Institute for Hadits Sciences, dengan menekuni dunia Hadis dan Ulumul Hadis.

Di balik kesibukannya ini, Ikhie gak segan untuk menceritakan kegiatannya padaku. Dari ceritanya aku tahu bahwa, setiap harinya ia menyambut pagi saat Subuh tiba. Ba'da sholat Subuh berjamaah, ia mengaji sampai jam 7 pagi. Lalu, harinya diisi dengan beragam ilmu yang harus ia rangkum dari kelas-kelas di UIN. Kuliahnya selesai saat matahari mulai berpulang ke peraduan. Meski demikian, kegiatannya masih panjang. Ia hanya memiliki sedikit waktu untuk bersantai. Saat Isya, ia harus kembali sholat berjamaah dan mengaji sampai jam 11 malam. Terus seperti itu setiap harinya.

Subhanallah. Padat betul aktifitasmu, kawan! Hebatnya, pria kelahiran 13 Juli 1991 ini tetap mampu menelurkan buku-buku yang laris di pasaran. Bukunya yang sudah beredar, selain TIAP ada juga SUNGGUH, AKU MENCINTAIMU KARENA ALLAH dan JANGAN LUKAI IBUMU yang merupakan buku anthologi.

So inspiring. Tentu saja. Aku sangat termotivasi oleh semangatnya. Termotivasi. Cukup sampai di situ. Ya. Mau apa lagi? Mendekatinya? Sungguh gak punya nyali. Aku bisa apa?

Sebagai anak pertama di keluargaku, boleh dibilang aku mempunyai sensitifitas yang cukup tinggi. Apalagi, pada orang yang cukup menarik perhatianku. Entah kenapa, tiap kali membaca status FB Ikhie yang berisi kesibukannya, aku gak segan untuk memberikan sedikit perhatian padanya.

"Jam 10 nanti tolong bangunin Saya, yah. Saya ada kuliah jam 11."

Kalau gak salah, seperti itulah permintaan Ikhie padaku. Dengan senang hati, aku menelponnya untuk membangunkan tidurnya. Kadang, saat SMS-an dengannya, aku merasa kami cukup dekat. Tapi, bila membuka FB-nya, aku minder. Fans-nya banyaaaak :(

Semakin sering aku SMS-an dengannya, aku semakin penasaran dengan bukunya. "Aduh, cari di kwitang aja kali yah?" Aku sempat memikirkan itu. Bisa juga sih, kalau mau meminta rekan kuliahku di Gorontalo mengirimkannya. Tapi, kesibukan membuat semua niatku itu tertunda.

Sedikit flash back.

Minggu, 01 April
Cinta, takdir atau apalah itu. Di saat sudah melupakan buku itu, aku justru mendapatkannya. Pada hari, aku dan sahabatku hang out ke sebuah mall di kota Depok. Kami hanya berniat masuk ke toko buku. Di sinilah, di toko buku yang gak terlalu besar inilah, aku justru mendapatkan buku karya Ikhie.

Senang bukan main hatiku. Senang bercampur iri, sih. Setiap hari 'kan aku SMS-an dengan penulisnya. Kalau bukunya bisa terpajang di sini, kenapa bukuku tidak? Aku harus menyusul menerbitkan bukuku. Harus! Hehe, sambil terus menggerutu aku terus memegangi satu buku itu. Walaupun uang di kantong mepet, tapi aku tetap nekat membelinya. "Kapan lagi?" Pikirku. Serius, saat itu uang yang kubawa benar-benar pas-pasan. Untunglah, buku ini sudah dapat diskon dan sahabatku mengantarku pulang. Aman. :)

Sejak curhat dengan Ikhie, aku semakin PD untuk menulis. Aku juga gak malu meminta tips agar berani menulis buku. Syukron, buku pertamaku sudah selesai kutulis. Aku menulisnya sejak awal Februari dan selesai pada akhir April. Kawan, pasti kalian penasaran dengan bukuku. Mohon doanya, untuk kehadiran 20-12/04/2012 :)

Sedikit bocoran, bukuku itu berisi perjalanan hidupku selama 20 tahun. Esensinya, tentang jatuh bangunku bersama 20 cintaku. Misiku menulis buku itu adalah, aku hendak membuka lembar kehidupan yang baru, bersama cinta yang baru di predikat baruku, kepala dua. 20 Tahun Bersama 20 Cinta, itulah judul yang kupilih. Maka, setelah mencapai angka itu, aku akan kembali lagi ke 1 (SATU). Artinya, cinta yang baru, seperti bayi yang baru terlahir. Bila perlu, cukup satu cinta saja. SATU untuk SELAMANYA! Amin.

Selama setahun, hingga hari ini tiba, tarik-ulur terus terjadi antara aku dan Ikhie. Ikhie mengaku tidak ingat padaku. Beberapa kali ia sempat mengajakku bertemu. Di kampusnya atau di toko buku. Sayang, waktunya gak pernah pas. Baru hari inilah, kami benar-benar memantapkan hati untuk bertemu.

Kuyakin, bukan hanya aku. Tapi, Ikhie juga pasti sama gugupnya denganku. Ini sudah lebih dari setahun kami gak bertemu. Bahkan, Ikhie sama sekali gak merasa pernah bertemu denganku. (Jahattt :(. Hehe).

Maha Besar Allah dengan segala Rencananya. Indah nian pertemuan hari ini. Apanya yang indah? Bersabarlah para pembaca. Sungguh. Aku belum kuasa menuliskannya. Sedikit yang dapat kugambarkan adalah, bahwa aku sangat bahagia bisa bertemu dengan penulis yang bukunya begitu kusukai. Bukunya adalah petunjuk di saat ku sesat, pengingat di saat ku lupa, pencerah di saat ku gelap, penyejuk di saat ku gerah, pelipur di saat ku lara. (Tapi sama sekali gak menandingi Al-Qur'an. Sama sekali tidak. Jangan salah faham). Sungguh. Semula hanya itu yang terbersit. Tahulah, nyaliku gak cukup besar untuk berharap lebih.

Tapi,Maha Baik Allah yang telah menitipkan rasa cinta pada hati manusia. Ya. Cinta. Beberapa hari, bahkan semalam sebelum pertemuan itu, Ikhie sudah memintaku menemaninya launching buku. Sudah ada banyak hal yang kami bicarakan. Termasuk kriteria pendamping. Atas izin Allah, kami merasa cocok dan berbunga, bahkan sebelum jumpa.

Sampai sini dulu ya, kawan. Sungguh. Aku belum kuasa mengungkapkannya. (Bikin pembaca penasaran). Insya Allah, akan ada judul, bahkan mungkin halaman lain yang lebih mampu menggambarkan Kisah Cinta Para Penulis ini. Insya Allah.

Yang hendak kusampaikan di ending cerita ini adalah Alhamdulillah. Syukur. Hanya satu kata itu.
Sungguh, Maha Besar dan Adil Allah yang telah menyelipkan bahagia di tiap luka. Sedikit bocoran, hari ini, Allah seolah membayar perjuanganku dalam mendapatkan buku pertama Ikhie. Aku mendapatkan buku itu setelah 1 tahun mencari dan menanti. Tapi, begitu mulianya hati Ikhie yang memberikan buku terbarunya, CATATAN SEJARAH CINTA, untukku (Sepaket dengan hatinya). Buku ini kudapatkan di hari pertama, dari cetakan pertama dan juga buku pertama yang dibuka. Boleh dibilang, buku ini pertama dilaunching di rumahku.

Bayangkan bahagianya hatiku, kawan! :)

Syukron juga kusampaikan pada mantan-mantan kekasihku yang telah memaksaku untuk keluar dari lingkaran keserhanaan cinta. Demi meraih cinta yang hebat. Juga pada Mama A'a, adik-adik perempuanku, Mama dan Papaku pastinya.

Hanya ada satu kalimat yang mampu menggambarkan rencana Allah mempertemukanku dengan Ikhie.

"Semua berkat doa mereka."

Tentu saja, ini masih awal bagiku dan Ikhie. Kawan, saudaraku. Bila doa yang mempertemukan kami. Mohon doanya untuk perSATUan kami. Bukan maksudku mendikte Allah agar menjadikan Ikhie jodohku. Tapi, seyogyanya cinta, ya harus memiliki.

"Menurutku, cinta gak harus memiliki itu bullshit. Itu bohong besar. Kalau gak harus memiliki, ya nggak cinta." ungkap seniorku di kampus. Ia adalah kakak yang selalu mendengarkan rintihanku. Ia selalu membantu segala permasalahanku. Bahkan, ia jugalah yang sedang menyunting 20-12/04/2012.

Kawan, kalian pasti faham maksudku. Kalian pasti sudah lebih dulu memahami apa itu 'cinta'. Tenang saja. Aku gak akan merebut cinta kalian. Karena, aku sudah menemukan cintaku sendiri. :).

Yang kupinta dari semua sahabatku yang kucinta karena Allah, bantulah kami, aku dan Ikhie agar bisa merebut hati Allah. Ridhailah cinta yang terlalu lama menanti dan merintih ini. Itu saja. Sahabat, sungguh aku mencintaimu. Terimalah cinta dariku dan Ikhie sebagai pengabdian kami sebagai anak manusia yang mencari kebahagiaan dan harapan hidup.

Syukron, sahabat..
Tunggulah, doakanlah kehadiran Kisah Cinta Para Penulis.

Salam kasih, AEB & FHM..http://www.facebook.com/anastasia.e.budiyanti?sk=notes#

No comments: